Potret Nestapa 180 Ribu Pekerja Migran Perempuan Indonesia di Hong Kong, Hadapi Kekerasan Fisik hingga Parenting Jarak Jauh

HONG KONG – Di balik kilau gedung-gedung pencakar langit dan janji kehidupan yang lebih baik, ribuan pekerja migran perempuan Indonesia di Hong Kong menyimpan cerita pilu. Kekerasan fisik, tekanan mental, hingga parenting jarak jauh menjadi tantangan nyata yang mereka hadapi setiap hari.

Menurut data terbaru, tercatat sekitar 180 ribu pekerja migran perempuan asal Indonesia yang mencari nafkah di Hong Kong. Mayoritas dari mereka bekerja sebagai asisten rumah tangga, meninggalkan anak dan keluarga di tanah air dengan harapan kehidupan yang lebih baik. Namun, tidak sedikit pula yang harus menelan pahitnya perlakuan diskriminatif, beban kerja berlebihan, hingga minimnya perlindungan hukum.

Fakta-fakta tersebut terungkap dalam kegiatan Pengabdian kepada Masyarakat Internasional yang digelar oleh Universitas Sumatera Utara (USU) bekerja sama dengan Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, bertema “Meningkatkan Kapasitas Resiliensi Pekerja Migran Perempuan di Hong Kong”. Kegiatan ini melibatkan 25 pekerja migran Indonesia yang tergabung dalam organisasi Asosiasi Tenaga Kerja Indonesia Hong Kong (ATKI HK) dan digelar di Victoria Park, Hong Kong, Minggu (22/6/2025).

“Tridharma perguruan tinggi ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas psikologi, gender, dan sosial kepada pekerja migran perempuan Indonesia. Harapannya, mereka bisa membangun daya tahan (resiliensi) dari berbagai hambatan dan tantangan yang dihadapi,” kata Ketua Tim Pengabdian USU, Dr. Harmona Daulay.

Ia menekankan pentingnya kesadaran gender di kalangan pekerja perempuan. Sebab, kekerasan dan diskriminasi masih menjadi persoalan laten yang menimpa pekerja migran perempuan.

Masalah Kekerasan dan Kesehatan Mental

Kolaborator dari Unsoed, Dr. Tyas Retno Wulan, mengungkapkan bahwa selain persoalan kekerasan, para pekerja migran juga menghadapi tekanan mental serius serta kesulitan dalam mengasuh anak dari jarak jauh (parenting jarak jauh).

“Hasil diskusi kami dengan Ketua ATKI HK, Romlah Rosidah, menyebutkan bahwa kekerasan terhadap pekerja perempuan masih terjadi. Selain itu, beban mental karena jauh dari keluarga dan tantangan parenting jarak jauh juga menjadi masalah yang tak kalah berat,”ujar Tyas.

Untuk menggali lebih dalam, para peserta dibagi dalam diskusi kelompok kecil. Mereka diberi ruang untuk menuliskan refleksi pribadi dan keluh kesah yang selama ini terpendam.

Bekal Psikologi, Hukum, dan Politik

Dalam sesi penyuluhan, Dr. Meutia Nauly, psikolog dari USU, menekankan pentingnya *growth mindset* agar pekerja migran tetap memiliki semangat dan daya tahan dalam menghadapi dinamika pekerjaan di negeri orang.

Sementara itu, Dr. Detania Sukarja menyampaikan pentingnya literasi hukum, agar pekerja migran memahami hak dan kewajiban, menghindari eksploitasi, serta mampu menafsirkan kontrak kerja dengan benar.

“Literasi hukum yang baik akan meningkatkan posisi tawar mereka secara kolektif,” ujar Detania.

Fredick Broven Ekayanta menambahkan materi tentang literasi politik, agar para pekerja migran menjadi warga negara yang kritis dan memahami sistem politik Indonesia secara menyeluruh.

Di sisi lain, Tyas Retno Wulan mengajak peserta untuk membangun well-being dan ketangguhan mental. Ia menyampaikan lima strategi penting untuk membangun resiliensi: membangun koneksi sosial, menjaga kesehatan, menemukan visi hidup, berpikir positif, dan mencari bantuan saat dibutuhkan.

“Pendidikan adalah bagian dari remiten sosial yang harus terus disemaikan. Itu adalah bentuk investasi sosial untuk memperkuat resiliensi,” jelas Tyas.

Kunjungan ke Shelter dan KJRI Hong Kong

Tim pengabdian juga menyempatkan diri mengunjungi Shelter Bethune House di kawasan Kowloon, yang menjadi tempat penampungan pekerja migran yang mengalami kekerasan atau persoalan hukum, baik dari Indonesia maupun Filipina.

“Kami mendengar langsung kisah para pekerja migran yang menjadi korban kekerasan. Shelter ini menjadi ruang aman yang sangat dibutuhkan,” tutur Tyas.

Di akhir rangkaian kegiatan, tim juga berkunjung ke Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Hong Kong untuk berdialog tentang kondisi ketenagakerjaan pekerja migran Indonesia.

Konsul Penerangan, Sosial, dan Budaya, Clemens Triaji Bektikusuma, mengapresiasi kegiatan tersebut.

“Kami berharap kegiatan seperti ini bisa dilakukan secara berkelanjutan. Kami juga punya berbagai inisiatif seperti Welcoming Program dan Warung Pelayanan Terpadu (Waryandu) untuk melindungi pekerja migran Indonesia,” katanya.

Konsul Muda Zivya Syifa Husnayain dan Konsul Imigrasi Febby Wilson Sayuti juga menyampaikan pentingnya pembenahan administrasi dan peningkatan pelayanan awal bagi pekerja migran sebelum mulai bekerja.

 

Catatan Redaksi

Kisah para pekerja migran perempuan di Hong Kong bukan sekadar cerita tentang pengorbanan, tetapi juga tentang ketahanan, perjuangan, dan kebutuhan akan perlindungan yang berkelanjutan. Negara dan masyarakat harus hadir, bukan hanya saat mereka mengirim devisa, tetapi juga ketika mereka membutuhkan dukungan paling dasar: rasa aman, sehat, dan dihargai sebagai manusia.