SUARA gamelan menggema dari dua penjuru Banyumas, masing-masing di Desa Tambak Sogra, Kecamatan Sumbang pada Senin (13/10/2025) dan Desa Kalikidang, Kecamatan Sokaraja, Selasa (14/10/2025). Di bawah cahaya senja, para penari ebeg menari dengan mata terpejam, tubuh lentur mengikuti irama kendang, dalam pertunjukan bertajuk “Kebangkitan Baladukha Akhir Tahun.”
Pentas yang digelar Komunitas Baladukha itu menjadi penanda lahirnya semangat baru masyarakat seni Banyumas. Mereka menghadirkan ebeg bukan sekadar tontonan, tetapi juga tandha urip — tanda bahwa budaya Banyumas masih hidup dan terus berdenyut di hati warganya.
Meski diguyur hujan, antusiasme masyarakat di Lapangan Tambak Sogra, Sumbang, tak surut. Anak-anak berlarian menirukan gerak kuda lumping, sementara para sesepuh menikmati pertunjukan dengan senyum nostalgia. Rintik hujan justru menambah magis suasana ketika salah satu pemain mengalami trance dan gamelan sempat berhenti sejenak sebelum kembali berdentum, seolah menyatu dengan degup jantung tanah Banyumas.
“Ebeg adalah bahasa jiwa,” ujar salah satu penggerak Komunitas Baladukha. “Lewat pentas ini, kami ingin menunjukkan bahwa tradisi bukan peninggalan, tapi kekuatan yang terus tumbuh dan memberi makna bagi kehidupan masyarakat.”
Pementasan di Sokaraja menjadi penutup rangkaian kegiatan akhir tahun Baladukha. Masyarakat sekitar turut berpartisipasi dengan menampilkan kesenian lokal lain seperti kentongan dan lengger, menjadikan acara tersebut wadah kebersamaan lintas generasi.
Kebangkitan Baladukha menjadi perayaan sederhana namun penuh makna. Di tengah arus modernisasi, seni rakyat Banyumas kembali bersuara lantang, mengingatkan bahwa selama gamelan masih berbunyi dan ebeg masih menari, Banyumas akan terus hidup dan menari bersama budayanya.