Purwokerto, purwokerto.info – Aliansi Masyarakat Peduli Gunung Slamet lintas kabupaten secara resmi mendeklarasikan pembentukannya pada Selasa (16/12/2025) di Purwokerto. Aliansi ini menyatakan sikap tegas menolak segala bentuk perusakan lingkungan, khususnya aktivitas yang mengancam kelestarian kawasan lereng Gunung Slamet.
Deklarasi tersebut dihadiri tokoh masyarakat, pegiat lingkungan, serta perwakilan warga dari berbagai daerah di sekitar Gunung Slamet. Gunung Slamet sendiri dikenal sebagai ikon ekologis bagi sedikitnya empat kabupaten di Jawa Tengah bagian selatan dan selama turun-temurun menjadi sumber kehidupan, mulai dari habitat flora-fauna, sumber mata air, hingga kekayaan alam lainnya.
Pendiri Yayasan Tribahata, Nanang Sugiri, SH, dalam pernyataannya menegaskan bahwa gerakan ini lahir dari kegelisahan masyarakat atas lemahnya pengawasan terhadap aktivitas pertambangan dan pengelolaan lingkungan. Ia menyebut, masyarakat sejatinya tidak meminta, melainkan menuntut jaminan keselamatan dan keberlanjutan lingkungan hidup.
“Yang kami tuntut adalah evaluasi menyeluruh terhadap seluruh regulasi dan perizinan tambang. Izin bukan berarti kebal evaluasi. Jika dalam praktiknya melanggar aturan dan membahayakan masyarakat, izin itu harus bisa dicabut,” tegas Nanang disela-sela kegiatan.
Nanang juga menyoroti peran pengawasan pemerintah daerah yang dinilai belum maksimal, terutama terkait tata ruang, AMDAL, dan aspek keselamatan warga. Ia menilai sejumlah pernyataan yang membenarkan aktivitas tambang dengan dalih kepemilikan lahan pribadi atau alasan ekonomi warga tidak menjawab kegelisahan masyarakat luas.
“Kami tidak anti pembangunan. Tapi pemetaan wilayah tambang harus dilakukan oleh ahli yang profesional, jujur, dan bebas dari kepentingan bisnis. Jangan sampai kawasan penyangga dan daerah resapan justru dikorbankan,” ujarnya.
Menurut Nanang, hingga kini komitmen reklamasi pasca tambang pun belum terlihat jelas. Hal tersebut menambah kekhawatiran masyarakat akan potensi bencana, baik yang sudah terjadi, sedang berlangsung, maupun yang berpotensi terjadi di masa depan akibat lemahnya kontrol dan pengawasan.
Selain aspek lingkungan, Aliansi Masyarakat Peduli Gunung Slamet juga menyoroti ancaman terhadap situs-situs sejarah, budaya, dan penyebaran agama yang berada di sekitar lereng Gunung Slamet. Situs-situs tersebut dinilai rawan rusak bahkan hilang jika eksploitasi alam terus dibiarkan.
“Bangsa yang besar adalah bangsa yang menjaga sejarahnya. Bukan hanya alam yang harus dilindungi, tapi juga nilai-nilai sejarah dan budaya,” tambahnya.
Dalam seruan aksinya, aliansi menegaskan bahwa gerakan ini murni untuk kemaslahatan sosial dan penyelamatan lingkungan, tanpa unsur anarkis. Mereka berencana menggelar aksi damai pada Jumat mendatang, setelah pelaksanaan salat Jumat.
“Gerakan ini memperjuangkan hak masyarakat untuk hidup aman dan selamat. Kami ingin mencegah bencana seperti yang terjadi di Sumatera dan Aceh. Aksi ini untuk kemanusiaan,” bunyi seruan tersebut.
Tokoh masyarakat setempat, Mbah Sisno, turut menyuarakan keprihatinannya terhadap kondisi alam saat ini. Ia mengingatkan bahwa banjir bandang dan longsor yang menelan banyak korban jiwa merupakan akibat dari ulah manusia yang melampaui batas.
“Alam bukan hanya milik kita, tapi milik anak cucu hingga hari akhir. Gunung Slamet adalah jantung Jawa Tengah bagian selatan, dari Brebes, Cilacap, Pemalang, Banyumas hingga Purbalingga. Jika batu-batu penyangga diambil, longsor pasti terjadi,” ujarnya.
Ia menegaskan bahwa kawasan penyangga Gunung Slamet tidak boleh dieksploitasi secara berlebihan karena berfungsi sebagai daerah resapan air. Menurutnya, suara penolakan seharusnya datang dari para wakil rakyat, namun karena mereka diam, masyarakat terpaksa bergerak.
Aliansi Masyarakat Peduli Gunung Slamet berharap pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan dapat mendengar aspirasi ini dan segera mengambil langkah nyata demi menjaga kelestarian Gunung Slamet sebagai warisan alam bagi generasi mendatang. ***
