Banyumas, purwokerto.info – Kebijakan baru Dinas Perhubungan Kabupaten Banyumas terkait skema kerja sama pengelolaan parkir tepi jalan umum menuai gelombang protes. Ketentuan yang mewajibkan pengelola parkir, termasuk koordinator zona, membayar retribusi tiga bulan di muka dinilai memberatkan, tidak adil, dan berpotensi melanggar prinsip dasar administrasi publik.
Keberatan keras salah satunya disampaikan Edi Soejitno, SH, Koordinator Parkir Zona 6, yang pada Rabu (24/12/2025) mendatangi Klinik Hukum PERADI SAI untuk meminta pendampingan hukum. Ia menilai kebijakan tersebut sama saja dengan menerapkan “sistem ijon modern” dalam pengelolaan parkir.
“Ini sangat memberatkan. Kami diminta menyetor sebelum pendapatan parkir itu sendiri kami terima. Pola ini sama saja ijon. Risiko sepenuhnya dibebankan ke kami di lapangan,” tegas Edi.
Menurut Edi, pengelola dipaksa menanggung beban setoran pasti, sementara pendapatan parkir bersifat fluktuatif dan sangat bergantung pada kondisi lapangan. Ia menyebut skema tersebut menciptakan ketimpangan relasi antara pemerintah sebagai penerima setoran dan pengelola sebagai pihak yang menanggung ketidakpastian.
Keberatan tersebut diperkuat oleh kuasa hukumnya, H. Djoko Susanto, SH, yang menilai kebijakan pembayaran retribusi tiga bulan di muka tidak hanya bermasalah secara ekonomi, tetapi juga cacat secara hukum administrasi negara.
“Ini mengandung unsur detournement de pouvoir atau penyalahgunaan kewenangan. Negara memaksakan kewajiban pembayaran jauh sebelum objek pendapatan itu ada. Ini melanggar asas kepatutan, proporsionalitas, dan good governance,” ujar Djoko.
Djoko menegaskan, sektor parkir tepi jalan umum tidak bisa disamakan dengan model bisnis berpendapatan tetap. Di dalamnya terdapat ekosistem sosial-ekonomi informal, mulai dari pengelola zona hingga juru parkir yang juga diwajibkan mengikuti BPJS Ketenagakerjaan. Namun, dalam skema ini, pemerintah menerima setoran pasti di awal, sementara pengelola dan juru parkir baru bekerja untuk mengejar pendapatan setelah kontrak diteken.
“Kebijakan ini jelas menempatkan risiko secara timpang. Pemerintah aman, sementara pengelola dipaksa berjudi dengan kondisi lapangan,” tegasnya.
Sorotan tajam juga diarahkan pada aturan yang menyebutkan bahwa pengelola tahun 2025 yang belum melunasi pembayaran hingga 24 Desember 2025 tidak dapat mengajukan kembali. Ketentuan ini dinilai mempersempit akses kerja sama dan berpotensi diskriminatif secara administratif.
Menurut Djoko, skema retribusi yang ideal seharusnya berbasis pada pendapatan riil, bukan proyeksi di atas kertas, mengedepankan asas keadilan dan proporsionalitas, serta menempatkan pemerintah sebagai regulator dan fasilitator, bukan pihak yang memungut risiko secara sepihak.
Sementara itu, dikonfirmasi terpisah, Kepala Bidang Pengendalian Operasional dan Perparkiran Dishub Kabupaten Banyumas, Iwan Yulianto, SS, MAP, menjelaskan bahwa kebijakan pembayaran di muka sebenarnya bukan hal baru, hanya saja selama ini penerapannya belum optimal sehingga menimbulkan tunggakan.
“Ini sesuai arahan Bapak Bupati. Nominalnya bervariasi, tidak semuanya Rp15 juta. Bahkan di kabupaten lain ada yang satu tahun dibayar di muka,” jelas Iwan.
Ia menambahkan, kebijakan tersebut juga bertujuan mendorong transparansi agar pengelolaan parkir tidak dimonopoli oleh pihak tertentu.
“Semua orang boleh mengelola parkir, tidak hanya orang itu-itu saja. Soal kebijakan teknis, diserahkan ke masing-masing kabupaten. Di Perda hanya diatur kerja sama bisa dengan perorangan maupun badan usaha,” katanya.
Meski demikian, dengan proses evaluasi dokumen pengelola parkir tahun 2026 yang dijadwalkan pada 25-26 Desember 2025, tekanan agar kebijakan ini dievaluasi bahkan dicabut kian menguat.
Bagi para koordinator zona, polemik ini bukan semata soal angka setoran, melainkan menyangkut cara negara memperlakukan mitra kerjanya, apakah dengan asas keadilan dan kemanusiaan, atau justru dengan pendekatan sepihak yang mengabaikan realitas di lapangan. ***
